WANDERLUST: Left without ever arriving.
Perjalanan panjang Sydney menuju ke banyak tempat baru, mengantarkan dirinya kepada Manhattan — pria supel pekerja harian lepas sebuah kapal dipinggiran Australia.
Netra seteduh jelaga itu acap kali buat Sydney hangat meski diluar dingin salju terasa menggigiti kulit.
“Tak apa ya tanpa restu dahulu. Lain waktu, aku coba lagi yakinkan mama.”
Petang ini, Manhattan kembali selepas berminggu-minggu melaut. Ia datang dengan ransel biru tua yang warnanya tak lagi sama akibat terlalu banyak terpapar matahari dan air hujan. Senyum Manhattan merekah tepat saat pintu coklat itu dibuka.
“Hey, selamat datang.”
Bau sabun mandi Sydney tercium jelas begitu Manhattan merengkuh tubuh itu, menempel dalam ingatan seolah tak ingin lepas Sydney dari dekapnya.
“Aku merindukanmu.”
“Aku lebih dari itu.”
Ditemani hangat perapian dan dua cangkir cokelat panas, Sydney menyandar pada bahu bidang Manhattan. Seolah ingin lebih banyak memiliki memori indah bersama Manhattan.
“Badanmu semakin kurus.”
Kekeh samar dari Manhattan menyapa telinga Sydney. Dikecupi sayang seluruh inci wajah sang suami kecil sembari menatap pahatan indah didepannya.
“Sydney.”
Respon diberikan. Sydney mengusap pelan pipi Manhattan sebelum menjawab. “Hm, ya?”
“Cantik. Selalu cantik.”
“Jangan mati mendahuluiku, ya? Aku akan sangat jatuh bila itu terjadi. Pondasi hidupku telah kamu telan. Disini.” Tunjuk Manhattan ke dada kiri Sydney.
Lantas, Manhattan melanjutkan “... Jangan bosan menungguku pulang. Denyut jantung ini yang membawaku untuk terus kembali kesini. Sampai jadi debu ya, sayang?”
Sydney terisak. Mata bulatnya berkaca-kaca, menyorot netra elang milik si lawan bicara. “Manhattan, kamu tau? Saat kamu meninggalkanku berpuluh-puluh kilometer jauhnya, aku masih tetap disini. Ditempat yang sama.”
“ — tak peduli bila kita nanti perlahan menua, satu persatu helai rambut memutih hingga kita tak lagi mengenali satu sama lain karena ingatan jangka pendek kita—aku akan selalu disini sebagai pasangan dan teman untukmu. Aku ingin selalu menggenggam erat tanganmu bagaimanapun keadaan kita nanti. Dan ya, sampai jadi debu.”