TO BE LOVE — Payphone

noa.
2 min readMay 20, 2023

“Ngelawan dunia nggak ada ruginya, dim. Selagi ada mama, ngga akan mama biarin siapapun nyakitin kamu lagi.”

Dimas baru melangkah turun ke cafe milik Senjani saat pukul empat sore selepas minum obat. Seperti biasa, cafe mungil ini tengah ramai dan mengantri, jadi, Dimas memilih untuk menyelinap diam-diam kemudian duduk tenang di tempat kosong yang tersisa.

“Mama nja—”

“Eh anak gue udah bangun. Valdo mana ayam yang gue suruh beli tadi? Kasihin ke Dimas, gue masih ribet di kasir. Bentar ya diem disitu dulu!” Senjani setengah berteriak, ia kewalahan sendiri melayani pembeli yang terus berdatangan.

Dimas mengangguk, ia menunggui sampai Valdo—asisten sekaligus barista di cafe ini, membawa satu nampan nasi, ayam goreng pedas, susu dan air mineral ke depannya. Pemuda dengan rambut coklat itu tersenyum hingga gigi taringnya nampak. Tumben, pikir Dimas. Biasanya dia akan jadi terlihat judes bila kerepotan di kitchen.

“Gaji dia naik, makanya full senyum.” Sindir Senjani. Valdo mendengus, “lu emang ga bisa liat orang bahagia dikit.”

Nasi di piring Dimas tinggal setengah, cafe juga sudah lumayan sepi. Senjani mendorong mundur kursinya kemudian menghampiri Dimas. Ia mengusak gemas surai pirang anak itu, semakin dilihat, benar-benar semakin mirip Haris ketimbang Kania.

How’s your day?” tanya Senjani riang.

“Flat.” Balas Dimas setelah menghabiskan nasinya. Ia meneguk air mineral tadi kemudian menyandarkan tubuh pada kursi. “Besok ada pertemuan wali murid—”

“Wahh! Mama pasti dateng. Jam berapa?” Senjani tersenyum, ia bersemangat sekali.

“Beneran?”

Anggukan semangat diberikan Senjani sebagai jawaban, “Kenapa nggak? Besok buka cafe nya agak siangan aja, kan Jum’at—terus mama ke sekolah kamu dulu.”

“Jam delapan.” Balasnya ringan.

Senjani memangku dagu diatas meja, matanya menyorot ke arah Dimas. Dia hanya belum bisa mengerti mengapa kedua orang tuanya tak sudi dengan kehadirannya. Untuk ukuran anak seusia Dimas, ia sosok pendiam, penurut bahkan sungkan melakukan apapun meski diminta.

“Ma ...”

“Hum?” Senjani merespon, ia berusaha memberikan seluruh fokusnya pada Dimas.

“Kalau beneran ada kehidupan selanjutnya, mama mau lahir lagi nggak?”

Ada keheningan sesaat—lantas Senjani mengangguk, “Pengen ngerasain banyak hal yang belum pernah mama rasain. Kalau kamu?”

Dimas menggeleng pelan, “Nggak mau. Kalau Dimas boleh milih, Dimas mau papa sama mama nja aja yang nikah, supaya papa bisa selalu bahagia. Dan juga, hidup jadi manusia itu capek ma, apalagi ngga diterima sama siapapun.”

Senjani diam, ia tahu Dimas masih denial hingga detik ini, bahwasanya ia sosok yang tak diinginkan orangtuanya. Dia tau itu.

Tangan Senjani terangkat tuk mengelus pelan surai pirang Dimas, “Kamu masih inget? Mama Nja bakalan selalu disini sama Dimas. Mau kan nemenin mama disini?”

“ — dunia emang nggak berjalan sesuai keinginan kita, Dim. Tapi percaya deh, selagi kita ngelakuin hal itu dengan tulus, semuanya bakal baik-baik aja. Nanti, suatu saat papa bakal jemput Dimas, tunggu sebentar lagi ya?”

“Dan mama nja?”

Senjani menatap penuh tanya. Pemuda itu melanjutkan, “ — dimas mau selalu sama mama nja.”

--

--

No responses yet