ON RAINY DAYS — Mattzello Universe
Malam ini hujan deras mengguyur kota. Membuat Matteo dan Reika mengurungkan niat untuk pulang dari rumah Vazello, sebab, mobil berada diluar—mereka akan basah kuyup bila menerjang hujan begitu saja.
Matteo spontan berdiri dari duduknya begitu melihat seorang pemuda pirang yang ia kenal sebagai Alnaka, datang membawa Vazello dalam dekapan.
“Anu, maaf—nanti gue jelasin.”
Kakak kedua Vazello, Jerico—menatap tajam Alnaka dengan ujung matanya dari ruang makan. Sadar ada Matteo, Jerico kembali fokus pada makanannya. Sebab bagaimanapun, Matteo juga punya kendali atas Vazello.
“Jelasin.” todong Matteo begitu sang tunangan dibaringkan keatas tempat tidurnya.
Alnaka menghela nafas panjang. Ia melirik ranjang Vazello beberapa kali sebelum membuka mulut. “Dia, tidur sama mantannya. Dia ga bisa jalan tadi dan kebetulan ketiduran di mobil gue, jadi mau gamau gue bawa ke—”
Bugh!
Satu bogeman melayang pada pipi Alkana. Membuat pemuda itu tersungkur dilantai kamar Vazello dalam sekejap. Matteo pelakunya.
Pemuda bermata kucing itu berlutut, lantas melayangkan beberapa tinjuan hingga sebuah jeritan menghentikan tindakannya.
“NAKA!”
Itu Vazello.
“Jadi?” Matteo menatap tengah Anderson tanpa ekspresi.
Sepuluh menit lalu, Alnaka pulang dengan wajah babak belur akibat dihajar oleh Matteo. Si empunya tak melawan sama sekali. Toh, dia yang salah.
Kini tinggal Matteo dan Vazello didalam kamar itu.
“A—apa?”
Sejujurnya Matteo hancur. Bagaimanapun ia mencoba, tak pernah ada namanya dalam bagian terkecil Vazello. Matteo tak pernah ada disana meskipun ia ingin.
Hela nafas berat dihembuskan tunggal Jacqueline sebelum berucap, “Saya cuma pengen denger kamu ngomong kalau kamu udah bener-bener gak mau ngelanjutin pertunangan ini. Saya bakal bantu kamu bujuk kedua orangtua kamu.”
Sang lawan bicara mendadak bisu. Dirinya telah rusak dijamah oleh mantan kekasihnya sendiri. Bila ia melepas Matteo, bukankah dirinya tak akan mendapatkan apa-apa?
“Aku nggak mau.”
“Aku gamau batalin pertunangan ini.”
Matteo menggeleng. “Bukti chat masih ada, kamu nolak pertunangan ini.”
“Aku tarik ucapanku.”
Diluar, hujan masih turun. Meski hanya menyisakan rintik kecil, siapapun akan kebasahan bila nekat melangkah dibawah sana.
Sementara didalam kamar Vazello, Matteo mati-matian menahan sesak di dadanya. Hal yang tak pernah ia hadapi sebelumnya, kini harus ia rasakan. Bagaimana jatuh sejatuh-jatuhnya hanya karena sebuah cinta.
Katakan Matteo dungu, mencintai sosok sekeras batu yang hingga kini tak pernah mempersilakan dirinya masuk untuk bertamu. Matteo menyadari, dirinya masih ada ditempat. Dengan segenggam mawar yang telah layu.
“Maaf. Nanti saya bilang ke orang tua kamu. Nggak usah khawatir.”
“... Jaga diri baik-baik. Saya harap, apapun yang terjadi nanti, kamu selalu bisa ngejaga diri kamu sendiri. Saya selalu sayang sama kamu.”