FAIRYVamp — Heejake
⚠️ mythological, fairy!jek vamp!hee, degrading, nsfw, explicit content
“Oh ayolah Lee Heeseung …” Jaeyun merengek, pandangannya terlempar pada luar jendela besar apartemen mereka, yang menampilkan kelap-kelip lampu gedung-gedung tinggi dan lalu lintas.
Heeseung baru menyesap segelas darah segar ditangannya, ia menoleh heran. “Ada apa sayang?”
“Bawa aku kembali ke rumah, disini panas!” Seru si rambut blond—ia mengibaskan tangan didepan muka, tanda benar-benar sedang kegerahan sekaligus agak menyesal menerima tawaran sang kekasih tuk datang.
Kemudian, Heeseung terkekeh. Ia mendekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan, Jaeyun menghindar. “Jangan, kau bau anyir.”
“Biasanya juga begini?”
“Ck, kau harus menjauhkan benda merah sialan itu dari depan wajahku!” Jaeyun berdecak sebal. Matanya menatap nyalang sang kekasih, nyaris ingin memakan hidup-hidup pemuda itu.
Sebagai pasangan dari dua bangsa berbeda—Vampir dan Peri, tentulah Heeseung dan Jaeyun memilik banyak perbedaan. Sebagai contoh, Heeseung harus rutin meminum darah agar ia dapat beraktifitas normal seperti manusia pada umumnya, sementara Jaeyun, ia benci darah. Hidupnya hanya untuk meminum madu dan memperhatikan bunga, tuk kelangsungan hidup para tumbuhan. Darah tak ada dalam daftar minuman favoritnya.
Meski tubuh Jaeyun seukuran manusia normal, ia bisa kembali ke bentuk asli yang hanya sebesar kelingking orang dewasa—sesuai keinginan saja.
“Sayang, kau belum mencobanya.” Bujuk Heeseung. Cairan pekat itu diarahkan hingga mendekat ke bawah hidung Jaeyun, membuat si empunya merasa mual.
“Vampir sialan …” desis Jaeyun malas.
Sore itu setelah matahari menghilang malu-malu dari balik awan kelabu, Heeseung membeli dua porsi besar ayam goreng madu—makanan kesukaan Jaeyun setelah menjelajah alam manusia.
“Wow—tunggu.” Jaeyun menyipitkan mata kemudian melirik aneh pada Heeseung.
“Ini bukan sogokan?”
Heeseung menaikkan satu alisnya, ia mengambil sepotong paha, lantas memakannya dengan santai. “Agak sedikit.”
“Heol, mau benar-benar ku buang semua stok darah dikulkas ya?!”
Diberi ancaman, Heeseung menciut. Ia merengkuh sayang pinggang sang kekasih, mengecupi pipi gembul makhluk itu berulang kali hingga Jaeyun risih sendiri dibuatnya.
“Kau ingat saat kita bertemu? Kau galak.” Tukas Heeseung. Bagaimana tidak? Mereka bertemu disebuah toserba. Jaeyun yang saat itu berjalan sembari menenteng berplastik plastik makanan rasa madu, harus bertabrakan dengan Heeseung—Pemuda ini nyaris dikejar warga karena menggigit kucing dijalanan.
“Kau kan bodoh.” Ujar Jaeyun. Ia mendongak sambil mengecupi rahang Heeseung.
Peri padang bunga itu mendudukkan dirinya di pangkuan sang kekasih, matanya mengerjap gemas — menatap lamat wajah rupawan si vampir.
“Menurutmu, aku bodoh?” tanya Heeseung sambil tertawa.
Jaeyun mengangguk, “Vampir gila yang kekurangan stok darah .”
“Tak apa, sekarang aku punya kau.”
Heeseung mengusap tengkuk Jaeyun, mencari-cari nadi karotis milik si scorpio dengan dua jarinya. Si empunya terkekeh, ia bantu turunkan lengan baju — tumben Heeseung mau langsung mencicipi dari tubuh Jake, biasanya harus diletakkan dalam kantong kecil supaya ia lebih mudah tuk menyantapnya.
“Sayang, boleh?”
Wajah Heeseung berubah menjadi lebih pucat, matanya merah dan dua gigi taringnya sudah muncul. Meski takut, Jaeyun tak ambil pusing—apa salahnya mencoba?
“Iya, boleh.”
Satu tangan Heeseung terangkat tuk rengkuh tubuh Jaeyun sementara yang lainnya sibuk menanggalkan satu persatu kancing kemeja si manis. Jaeyun melenguh—Heeseung menyesap darah dari nadi di pergelangan tangannya lebih dulu.
“Sakit?” tanya Heeseung disela hisapan. Jaeyun menggeleng, “Sedikit—menggelitik.”
Pemuda itu melanjutkan kegiatannya. Kini, ia membawa Jaeyun kedalam kamar mereka—oh, bodohnya hari ini Jaeyun memakaikan seprai putih pada ranjang itu.
Diletakkannya tubuh Jaeyun perlahan, seolah tak ingin menyakiti kekasih hatinya ini. Heeseung mengusap pelan pipi Jaeyun—tak peduli darah terus menetes dari pergelangan tangan si scorpio akibat luka menganga disana.
“Aku mencintaimu.” ujar Heeseung.
Seterusnya, pemuda itu akan menggantungkan hidup pada Jaeyun—darah, nadi, paras ayu—semua ini milik Heeseung secara mutlak.
“Aku lebih mencintaimu.” Jaeyun mengusap pelan rahang tegas sang kekasih selagi Heeseung sibuk melucuti pakaian sendiri dan celananya. Ah, Jaeyun tak peduli — ia hanya tau rasanya dipuja tiap detik oleh Heeseung, dan itu sangat membuat dirinya dimabuk kepayang.
Heeseung bergerak, ia naik ke atas ranjang — hingga menimbulkan decitan pada benda itu. Direngkuhnya dengan sayang tubuh Jaeyun. Rasanya Heeseung langsung ingin menjadikan jaeyun sebagai vampir — sayang, ia masih sangat membutuhkan tetes darah sang kekasih.
“Aku tandai, boleh?” izin Heeseung, tangannya terangkat tuk elus pelan tengkuk lawan bicaranya. “Disini.”
Heeseung hanya tak ingin lewatkan kesempatan ini.
Tanpa diduga, Jaeyun mengangguk — tangannya menarik tengkuk Heeseung mendekat .
Cup!
“Lakukan apapun, sesukamu.”
Yang lebih tua terkekeh, ia mengecupi bahu hingga dada telanjang Jaeyun — meninggalkan bercak keunguan pada sekujur tubuh bagian atasnya.
“Eunghh—” Jaeyun menggeliat, matanya memejam. Vampir ini memang tak main-main dalam memberi sentuhan pada tiap bagian tubuhnya.
Tangan Heeseung kemudian bergerak turun, mengusap bagian luar lubang anal si peri sebelum mencoba bermain dengan satu jari. Jaeyun meremat lengan Heeseung.
Gosh, ini kali pertama untuknya.
“Sakit?”
Jaeyun mengangguk, air mata telah berada di pelupuk — mata jernih itu berkaca-kaca. Heeseung terkekeh, ia mengecupi kelopak mata si manis, seolah meminta agar menahannya sedikit lagi sebelum menjemput kenikmatan.
“T — tolong gerakkan.”
Jaeyun telah meminta.
Perlahan, Jari tadi bergerak maju mundur — Heeseung bisa merasakan tubuh Jaeyun menerima rangsangan darinya, terbukti saat pemuda itu hanya dapat mendongak sambil membuka mulutnya.
“Heeseung, heeseung …” Jaeyun meracau, jemarinya menggenggam erat tangan kokoh Heeseung — menyalurkan perasaan membuncah dalam dirinya tiap kali Heeseung bergerak dibawah sana.
“Anghh! Lagi, lagi!”
Pipi Jaeyun bersemu hingga telinga runcingnya memerah — jadi begini rasanya mencintai dan dicintai oleh makhluk berbeda bangsa? Ditambah Heeseung merupakan sosok romantis yang dapat membuat siapapun mabuk dibuatnya.
“Sayang—that’s so great.” Leher Heeseung tercekat — jadi begini rasanya seorang peri?
Heeseung mendorong satu jarinya lagi — mencoba menyiapkan anal Jaeyun sedikit lagi sebelum ia memulai.
“It’s very tight, babe.” bisik Heeseung. Jarinya masih tetap menggaruk dinding anal sang kekasih.
“Iya—eunggh!”
Jaeyun telah sampai putihnya lebih dulu. Cairannya tumpah keatas perutnya sendiri serta tangan Heeseung — dada si scorpio tersengal. Apa itu tadi?
“Jaeyun—pipis?” Heeseung spontan terkekeh begitu mendengar penuturan polos sang kekasih.
“Hey, that’s okay … ini wajar sayang.”
Merasa Jaeyun telah siap, Heeseung merangsak naik — membubuhkan kecupan pada kedua pipi gembil Jaeyun sembari mendorong masuk penisnya ke dalam anal si submissive.
“ARGHH!”
“Fuck!”
Kuku Jaeyun mencakar bahu Heeseung secara spontan, meninggalkan bekas kemerahan panjang begitu penis Heeseung tenggelam dalam bagian selatan miliknya.
Dada Jaeyun naik turun — matanya berkaca-kaca. Rasanya memang tak sesakit tadi, kini terganti menjadi sebuah kenikmatan.
“enghh! ah seung—ughh!” Jaeyun mendongak, tangannya mengurut pelan kepemilikannya sendiri, sementara dibawah sana — Heeseung masih terus bergerak dengan perlahan, penisnya terus-menerus dipijit oleh anal sempit Jaeyun — keduanya melenguh.
“Sayang—ahh! enak banget sial.”
Rasanya perut keduanya seperti digelitik — geli sekaligus nikmat sekali. Oh, bahkan keduanya baru rasakan hal ini.
“Ahh! yaah yahh too deep—shh!”
“oughh — babe!”
Bunyi kecipak basah dari penyatuan kulit keduanya terdengar nyaring dalam kamar itu, diiringi oleh siluet jingga dari balik jendela besar apartemen mereka.
Keduanya masih saling rengkuh, berbagai kehangatan yang amat mereka rindukan belakangan ini.
“Aku—aku, aku mencintaimu, Heeseung.” ucapan putus-putus Jaeyun, menambah panas tubuh keduanya. Lontaran kalimat pujaan tak henti diucapkan bibir Heeseung — ah, rasanya Mereka seperti tak sedang berada di bumi.
“Hhh—aku juga mencintaimu, Jaeyun.”
Ibu jari Heeseung mengusap ujung penis Jaeyun — memberi rangsang agar si scorpio lekas menjemput putihnya. Mata keduanya tak pernah memutus kontak — mereka benar-benar saling mencintai satu sama lain.
“enghh! eumh!” yang lebih tua memagut pelan bibir tebal sang kekasih tanpa memelankan tempo pinggulnya. Penis berurat miliknya bergerak maju-mundur secara teratur — menghujam titik putih Jaeyun tanpa ampun.
Si scorpio mengerang, rasanya akan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya — lagi.
“Heeseung — hnghh!” badan Jaeyun menegang, ia meremat pelan bahu Heeseung — dan tepat di detik itu pula Heeseung menancapkan kedua taringnya pada nadi karotis Jaeyun.
“ARGHH!” lolongan menyedihkan dari Jaeyun, mengakhiri sesi bercinta mereka malam ini. Tubuhnya terasa penuh oleh sperma Heeseung sementara luka dilehernya menganga, terus menerus dihisap oleh bibir sang dominan hingga Jaeyun pucat pasi.
Dua menit berikutnya, Heeseung telah selesai. Pemuda itu menarik taring dan penisnya perlahan — membiarkan Jaeyun terlelap dalam tidur panjangnya.
“Hanya sekitar — empat belas sampai tiga puluh hari. Ini tak akan lama.” Jongseong melepas jas dan kacamatanya.
Mata elang itu menatap manik bambi Heeseung, “Kau nyaris membunuhnya.”
Sang lawan bicara mengernyitkan dahi, “Apa—”
“Ini tak akan mudah untuknya. Peri itu berbeda bangsa dengan kau—untung saja dia dapat melewati masa kritis.”
Jongseong menepuk bahu Heeseung dua kali, “Percaya padaku, tak akan terjadi apapun. Biarkan dia tidur dalam peti ini dalam jangka waktu yang telah aku katakan tadi. Ada paku?”
Anggukan diberikan sebagai jawaban, Heeseung menyerahkan dua buah paku perak besar kepada Jongseong — mencegah raga Jaeyun dicuri atau bangkit sebelum waktunya — tak lupa meletakkan lilin di sekeliling peti hitam itu agar Jaeyun tetap hangat selama masa tidurnya.
“Ayo, kau harus keluar. Kau tidak boleh disini sepanjang waktu.” Jongseong menarik lengan Heeseung tuk mundur — ia terkekeh, “Kekasihmu cantik sekali. Seorang peri padang bunga yang manis dan menawan.”
“Yah—aku sangat mencintainya, sungguh.”