CREATED FOR YOU — Daylight
Dan bahkan bila Senjani telah berhenti, Haris kan berbalik tuk membawanya kembali bersama.
Secangkir kopi latte diletakkan senja tepat didepan Haris. Kepalanya spontan menengok jalanan — hujan turun deras membasahi kota sore itu, seolah mengiringi kegundahan keduanya.
Tak ada obrolan yang tercipta hingga Senjani mengangkat kepala, “Gimana kabar lo?”
“Ga bisa dibilang baik-baik aja setelah jauh dari lo.”
“Lo butuh istirahat, ris.” balas Senjani, ia menyeruput kopinya perlahan.
Haris menghela nafas lelah, “Balik ya nja? gue mohon. Demi Dimas, demi kita.”
Sore itu, hujan datang membawa banyak memori masalalu — tentang Haris, Secangkir Kopi dan Sebuah Takdir. Senjani tak pernah tahu kemana sebenarnya ia benar-benar berlabuh. Kata Valdo, akan terlalu tua bila menunggu apa yang tak dapat ditunggu — namun, jauh dalam batinnya, Senjani masih terus menjerit — memanggil Haris tuk kembali.
“Kita selesai sebelum mulai, ris.”
“… gimana kalau sampai mama tau lo masih kesini, ngehubungin gue bahkan ngerawat cucu sematawayangnya?”
“Gue ga peduli.” mata hazel itu berkaca-kaca, menyiratkan keputusasaan — mengapa rasanya sulit sekali untuk bersama?
“Gue cuma mau lo, nja.”
Digenggamnya jemari yang lebih muda, hangat sekali — rasanya sama seperti terakhir kali merengkuh tubuh kecil didepannya ini. “Ayo lawan dunia sama-sama?”
“Kita mungkin bisa ngelawan dunia, ris. Tapi gue bakalan tetep kalah sama pilihan mama lo.”
Keduanya terdiam lagi, kali ini cukup lama. Rasanya terlalu kelu untuk mengatakan segalanya secara terus terang — terlalu menyakitkan.
Di pantry, Valdo dan Gavin mengintip — salah satunya menunjuk si rambut blond, “Mereka berdua itu perasaannya sama sama abis buat masing-masing, tapi yang satunya terlalu lugu, satunya lagi ngegampangin.”
Valdo mengunyah sekeping biskuit susu, lalu ia melanjutkan, “Senjani pemaaf sementara Haris selalu ngerasa sebanyak apapun kesalahannya, Senjani masih punya celah buat dia.”
Sebagai orang yang bahkan telah melihat bagaimana jatuh bangunnya Senjani seorang diri, tentu ada rasa marah dalam batin Valdo. Ditinggalkan, bangkit, disakiti berulang kali — semua itu seperti warna untuk hidupnya Senjani.
“Tau darimana bang?” Gavin ikut penasaran, ia mendekatkan diri — kok menarik juga kisah cinta bosnya ini.
“Senjani buka cafe ini gara-gara diusir dari rumah Haris setelah tau mereka pacaran.”
“Siapa yang ngusir?”
“Mamanya Haris.”
Gavin mengernyitkan dahi, “Mereka saudara?”
“Dulu tuh Senjani anak angkat papa tirinya Haris. Setelah papanya meninggal, Senjani dibuang. Terus si Haris dijodohin sama Kania.” ujar Valdo sembari melahap biskuit susu keduanya.
Naas, Dimas mendengar semuanya. Lapar setelah bermain game ternyata adalah hal buruk. Urung, Dimas mundur dan kembali naik ke lantai atas Cafe itu — abai atas suara perut yang meraung minta diisi.
Jadi selama ini ia keliru menganggap Senjani sebagai sepupu jauhnya seperti ucapan Haris?