CHAPTER 1: Cardigan.

noa.
2 min readJun 17, 2023

I’ll be here no matter what, sejauh apapun kita pergi — tujuanku untuk kembali akan tetap dan selalu kamu.

Siang itu pukul dua, Vazello telah anteng duduk di jok depan kursi penumpang mobil Matteo. Tak ada percakapan diantara mereka — atau sebenarnya terlalu canggung tuk memulai.

Vazello meremat tali tas nya. Dulu sekali ia sering — bahkan hampir setiap minggu duduk di jok ini. Sekarang, yang tersisa hanya kenangan kecil yang melekat di ingatannya.

“Matteo—”

“—Vazello.”

“Silakan kamu duluan.” putus Matteo.

“Ini kita mau kemana?” Rasanya tadi mereka berjanji untuk mencari angin dan ngobrol ringan, kenapa justru datang ke taman pemakaman?

Matteo belum menjawab hingga mobil berhenti pada sebuah parkiran, “ayo ikut saya dulu.”

Vazello belum mengerti. Siapa yang pergi? Kenapa dia ada disini dan kenapa harus mereka kemari?

“Ini—”

Tenggorokan Vazello tercekat begitu membaca nama di salah satu makam disana.

Jiannes William.

Apa dia sedang ditipu sekarang ini?

“Jian—”

“Dia udah berjuang keras buat penyakitnya. Saya datang kesini bersama kamu, supaya Jian bisa tenang disana.”

Vazello tertegun, “Tenang?”

“Dia ngerasa bersalah waktu saya bilang udah ngebatalin pertunangan kita. Dan dia belum sempat minta maaf ke kamu — ya karena sakitnya.”

Vazello tak menjawab lagi. Diusapnya pelan pusara milik Jian. Ia linglung saat ini — tak mengerti harus menyalahkan siapa atas sakit hatinya dan kekecewaan pada Matteo. Meskipun begitu, ia menyadari, Matteo tak selamanya bersalah atas hal ini. Barangkali ada rasa yang tertinggal, itu adalah belas kasihan dan simpati sebelum Jian pergi.

“Maaf. Aku nggak tau.”

“Saya yang seharusnya minta maaf, semuanya mendadak. Udah yuk, mau cari makan?”

Vazello menatap sepotong kue dihadapannya dengan tatapan kosong. Sebenarnya, apa yang akan dan sedang direncanakan oleh Matteo?

“Gimana kabar kamu?” tanya pemuda berkemeja biru muda itu sembari mengunyah kue red velvet pesanannya.

“Baik, kamu sendiri?”

“Nggak baik, sebab nggak ada kamu.”

Lagi, Vazello diam.

“Aku bingung sama kamu. Kamu ngebatalin pertunangan kita tapi kamu selalu gini ke aku. Kamu bikin aku bimbang.”

Vazello marah, ia terlampai kecewa — namun ia juga masih membutuhkan sosok Matteo. Pemuda Anderson itu punya terlalu banyak ketakutan setelah hari-hari panjang yang ia lalui sebelumnya.

“Saya minta maaf.”

“— bisa kita ulangi dari awal? saya minta maaf, Vazello.”

“Enggak.” Vazello tidak boleh lengah lagi. Ia akan selalu disepelekan bila terus berbelas kasihan kepada orang lain. “Aku udah maafin kamu Matteo, tapi untuk kembali, aku nggak bisa.”

Meski hati kecilnya mengatakan hal sebaliknya, Vazello tahu apa yang ia lakukan — dunia tak akan selalu berpihak padanya, jadi biarkan semesta yang bekerja. Apa yang menjadi miliknya, akan selalu kembali padanya, dan sebaliknya.

You don’t love me anymore?

Vazello selalu mencintai Matteo-nya.

“Sebenernya siapa yang hati kamu mau, Matteo?”

--

--

No responses yet