⚠️ Blood, Violence, Death
“Wow, masih merah.” Celetuk Noah begitu melihat sosok Jewa yang tergeletak tak berdaya dilantai dengan leher menganga—telah dicabik oleh Janshen lebih dulu.
Helios terkekeh, ia menarik lengan lunglai milik Jewa kemudian tersenyum. "Masih perjaka nih anak."
"Emang apa yang mau lu harapin dari bocah usia 18 tahun?" Balas Noah. Taringnya sudah muncul sejak tadi—sekejap gigi tajamnya sudah menembus kulit leher Jewa, sementara Helios asik menyesap pada nadi dipergelangan tangan.
Melihat kedua saudaranya nampak kelaparan, Janshen mundur. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku—hasil mencuri dari satpam gerbang belakang—dan menikmatinya dalam diam sembari merasakan semilir angin menerpa wajah.
Butuh 15 sampai 20 menit untuk dua orang tadi menghabiskan seluruh darah korban hingga titik terakhir. Janshen bertugas sebagai penjaga apabila ada yang datang mendekat kesana.
Cklek!
"Eh?"
North menghentikan langkah begitu melihat Janshen dipinggir rooftop. Mereka sama-sama kaget melihat satu sama lain.
Pemuda dengan rambut keperakan itu mundur sejengkal, hendak meninggalkan tempat itu cepat-cepat sebelum Janshen dapat mengejarnya—namun terlambat.
"Eh—gue bisa jelasin."
Si taurus menoleh, dua saudaranya masih asik menyantap makan siang mereka—persetan darah segar, ada yang melihat mereka!
"Lo gila ya?!" Tuduh North begitu saja.
Janshen mengangkat bahunya tak acuh, "I'm not, but—" ia mendorong bahu North hingga menabrak beton dibelakangnya. Mata elang itu merah menyala disertai seringai menjengkelkan.
"Pastiin lo bisa bisa jaga mulut sialan lo itu."
North beringsut mundur. Tangannya mencengkram erat pinggiran rooftop sambil menggeleng panik, "nggak—maksud gue, gue—diem. Iya, gue ga bakal bilang ke siapapun."
Tak menjawab, Janshen menghisap dalam dalam rokok ditangan, lantas diembuskan seluruh asapnya ke depan muka North. Si empunya terbatuk sembari memegangi dada.
Sial, dasar orang gila—batin North.
"Gausah ngebatin, gue tau apa yang lu pikirin."
Puntung rokok tadi dijatuhkan kemudian diinjak menggunakan ujung sepatu. Janshen menatap North lewat ekor matanya. "Kebiasaan anak pinter emang selalu gini ya?"
"G—gue bisa dipercaya!" Gertak North. Ia tidak betul betul akan melapor ke guru, sebab, sebagai anak jajaran siswa miskin, ia harus ekstra hati-hati dalam bertindak bila tidak ingin beasiswanya dicabut.
Pandangan North beralih pada mayat Jewa. Tubuhnya pucat pasi nyaris kebiruan sebab darahnya telah terkuras habis—sekali lagi, North pikir ini hanya mimpi karena terlalu kesal dengan Bu Ning yang suka menunda kelas.
Beberapa saat kemudian, Helios dan Noah kompak berbalik badan. Mereka melepas jas almamater dan menyeka bekas darah dibeberapa tempat. "Ah sial, ni anak udah ngeliat kita." Tunjuk Helios pada North—nadanya terdengar kesal.
Sementara yang ditunjuk belum juga bergerak, terlalu lamban mencerna segala hal saat ini.
"Santai. Bisa dibungkam kok." Balas Janshen pelan, membiarkan North melihat apapun yang bisa ia lihat disana.
Noah mencengkeram kerah belakang mayat tadi dan menariknya hingga setengah terduduk, satu tangannya terangkat kemudian jari dijentikkan dan puff!
Noah menghilang dari pandangan. Tetapi sebelum itu ia sempat mencuri kecupan dipipi Helios—membuat North makin melotot.
Ada apa sih ini?!
"Kalian—"
Janshen dan Helios saling berpandangan, "Lo urus deh, gue mau nyusul Noah." Putus Helios, ia ikut menghilang dengan cara yang sama.
Ditinggal berdua, tak semata-mata membuat Janshen melunak—matanya menatap tajam North sebelum mengeluarkan sesuatu dari kantong seragam.
Sebungkus permen.
“Ambil.”
“Buat?”
“Dimakan.”
Lantas Janshen melangkah pergi.
Pemuda itu mengerutkan dahi, “Hah?”