Mattezello — Daily #1
Arsakhanta Matteo memarkir mobilnya tepat di pelataran sebuah rumah sakit swasta kota Seoul.
Kaki jenjang itu melangkah menuju UGD, hendak menghampiri sang kekasih yang babak belur akibat berulah dengan fakultas tetangga. Maklum, anak bebal bukan main.
Dari kejauhan Vazello Anderson sudah mencebikkan bibir lucu, takut akan tatapan tajam dari Matteo, padahal biasanya sok jagoan.
“preman kok nangis.” Tukas Matteo begitu melihat mata Vazello sudah merah dan berkaca-kaca, tanda bahwa sebentar lagi tangisnya akan tumpah.
Tak menjawab, Vazello justru melingkarkan lengannya pada leher sang tunangan, menyembunyikan wajah kacau miliknya dibahu milik matteo lalu menangis terisak. “Takut..”
“saya gak marah.”
“saya hanya khawatir kalau terjadi hal buruk ke kamu. Untung cuma babak belur, coba kalau sampai lebih parah dari ini, gimana?” tanya Matteo sambil mengusap air mata dari pipi kebiruan si manis tanpa emosi. Apapun itu, Vazello tetap terintimidasi olehnya. Tatapan tajam juga ucapan demi ucapan yang justru terlihat seperti perintah ketimbang nasihat.
“ayo pulang.”
Vazello mengayunkan kakinya dengan random ditepi tempat tidur, sementara Matteo tengah melepas jaket dan jam tangan yang tadi ia pakai.
Curiga bahwa sebenarnya Matteo tengah marah, sebab Vazello diacuhkan.
“Matteo, aku..”
“udah. Saya gak marah.”
Yang lebih muda duduk disamping si manis, ia mengangkat dagu Vazello lantas menatap dalam mata hazel itu, seolah sedang mengatakan bahwa tak ada emosi apapun didalam sana, yang ada hanya kekhawatiran soal dirinya.
“justru saya marah kalau kamu terus-menerus minta maaf.” ibu jari milik pemuda berusia dua puluh tahun itu mengusap pelan bibir Vazello. “Saya gak suka kamu sakit. Saya ngerasa gagal buat ngelindungin kamu.”
Vazello diam, Matteo benar.
Satu kecupan singkat mendarat dibibirnya. Hati Vazello menghangat.
“Tolong jaga diri kamu sendiri selagi kamu lagi gak sama saya. Saya kepalang cemas.”
Kecupan kedua dilayangkan kepada sang submissive. Kali ini, menjadi lebih dalam dan menuntut. Vazello tak peduli sekalipun bibirnya sedang terluka. Yang jelas, ciuman dari Matteo jauh lebih memabukkan ketimbang rasa sakit pada sekujur badannya saat ini.
“mmhh..” Vazello meringis pelan, lukanya terkena air liur mereka sendiri.
Sementara lidah dan bibirnya bermain pada area mulut si manis, tangan Matteo beralih mengusap punggung hingga perut rata Vazello. Jangankan melawan, membalas pun Vazello tidak mampu. Sungguh, sang tunangan berhasil mencapai titik sensitif miliknya.
Matteo tersenyum, perlahan ia lepaskan ciuman itu sebab Vazello sudah benar-benar terlihat kacau. Dan tentu saja, ia tidak boleh melakukan hal 'itu' sekarang.
Matteo tidak ingin menyakiti Vazello-nya.
“enough.” diusapnya pelan helai lembut si manis. Vazello merengut, “babe..”
“gak, sayang. Harus sembuh dulu, oke?”
Vazello menyesal telah babak belur hari ini.