ANOTHER DAY — Heejake
Batavia, 1850.
Jacqueline Der-Veken, Jaken — Begitu kiranya ia disapa. Pemuda berusia tujuh belas tahun itu baru duduk dibangku sekolah umum Hindia Belanda bersama beberapa pribumi, ningrat dan bangsanya. Kulit Jaken putih bersih, rambut pirang dan mata biru cerah. Tubuhnya tinggi semampai khas bangsawan Belanda. Maklumlah, ayahnya seorang Meneer, punya jabatan sebagai Gubernur Jenderal sekaligus Tuan tanah tersohor kala itu.
Punya latar belakang penjajah, tak membuatnya serta-merta besar kepala. Jaken justru tumbuh sebagai anak yang patuh, baik dan santun pada setiap orang tanpa membedakan ras dan suku mereka.
“Papa, mag ik even spelen?” Tanya Jaken, ia bersiap mengeluarkan sepeda angin dari gudang penyimpanan beras. (Ayah, bisakah aku main sebentar?)
Sore ini selepas sekolah, ia punya janji temu dengan seseorang. Ia janji dibawakan sesuatu, jadi—Jaken bersemangat!
Sang ayah, Jendral Der-Veken menaikkan satu alisnya. “Hendak kemana?”
“Bermain di ujung belokan sana. Dengan Mahesa.”
Mendengar nama Mahesa, ayah mendengus. “Hati-hati. Bila ada orang asing hendak menyergap, cepat pulang.”
“SIAP!!”
Jaken perlahan menjauh dari rumah dengan mengayuh sepeda angin miliknya. Tungkai panjang itu seringkali lecet akibat dipaksa tuk mengerem mendadak karena kampas depan telah habis. Tapi, Jaken tak pernah pedulikan itu—ia hanya butuh bertemu Raden Mas Mahesa Widjojodiningrat.
Kekasih hatinya.
Sampai ditempat janji temu, Mahesa sudah duduk manis di ayunan sambil membawa sesuatu yang dibungkus daun pisang. Jaken tersenyum lebar, ia buru-buru turun dari sepeda dan berlari menghampiri Mahesa.
“Apa itu?”
“Gethuk.” balas Mahesa singkat. Yang lebih tua membuka hati-hati bungkusan di pangkuannya, lantas mencomot olahan singkong itu menggunakan tangan.
“Buka mulut kamu.” Perintah Hesa, Jaken hanya menurut.
Adegan saling suap tadi tentunya setelah mereka berdua memastikan bahwa lingkungan sekitar telah aman. Bagaimana tidak? Meski Mahesa pakai beskap putih khas londo, rambut dan kulitnya kontras—akan sangat gawat bila KNIL¹ menyergap salah satu dari mereka.
Jaken dengan mulut penuh gethuk menunjuk-nunjuk daun pisang tadi, “E—enyak!”
“Habiskan makananmu, ojo omong sek.” tukas Mahesa, matanya menatap si netra biru dari samping. (jangan ngomong dulu)
Latar belakang langit jingga, membuat sosok Jaken nampak seperti lukisan. Pemuda Londo** ini mutlak cantiknya.
Ada keheningan sesaat diantara mereka. Suara jangkrik dan derap kaki kuda bersahutan dari arah barat—pasar. Saat ini memang waktu terbaik untuk para pedagang pulang ke rumah masing-masing setelah seharian bekerja.
“Sepertinya aku akan pulang.” Buka Jaken, ia memainkan sandal jepit biru diatas pasir—merundukkan kepala seolah sedang merasa bersalah pada Hesa.
Maksud ‘pulang’ disini adalah Keluarga Der-Veken memang hendak kembali ke negara asal mereka, Netherland—untuk menetap disana.
Mahesa, ningrat jawa itu menurunkan tangan. Ia menatap jalanan, “bangsamu memang seharusnya pergi dari sini. Mereka merepotkan, perampas, dan egois!”
Jaken tak berani menjawab.
“Begitu ya?”
“Negara ini kacau hanya karena bangsamu, apa kau tahu itu?!” Nada bicara Mahesa meninggi, ia seperti sedang tersulut emosi.
Dua anak adam itu sibuk bergelut pada pikiran masing-masing.
“Jadi, kalau aku pergi—semua akan baik-baik saja?”
Mahesa tak menjawab, ia berdiri—memunggungi sang kekasih hati. “Iya untuk bangsa, tapi ndak³ untukku.”
Senyum tipis diulas Jaken di bibir. Mata birunya mengerjap lucu, hingga mungkin siapapun yang melihatnya akan merasa kegemasan oleh tingkah Jaken.
“Kapan kau akan pulang?” Tanya Mahesa, lagi.
Jaken menaikkan kedua bahunya, “Hanya—menunggu ayah.”
“Jangan lupa berkirim surat padaku.”
“Memang kau yakin suratnya akan sampai?”
“Kalau tidak sampai, aku akan datang menyusulmu.”
Baik Jaken maupun Mahesa tau, mereka adalah dua kemungkinan yang tak akan bisa disatukan—bagaimanapun caranya. Tidak akan pernah. Bahkan bila salah satunya ingin berkorban, itu tidak akan berarti apa-apa.
“Kalau nanti kita ndak bisa bersama, bagaimana?”
Mahesa duduk kembali ditempatnya. Satu tangan lainnya digunakan tuk mengelus pelan punggung tangan Jaken, “Tapi aku ingin menikah denganmu.”
“Dit zal niet mogelijk zijn.” balas Jaken murung. Yang benar saja? Apa Mahesa mau dia diarak keliling kampung karena menikahi seorang lelaki? Parahnya, seorang bangsawan Belanda! (ini tidak akan mungkin.)
“Nanti, ayo kita bertemu.”
“Kapan?”
“Nanti, Suatu saat—kalau bangsa ini sudah merdeka dan kita menjadi mungkin.”
Entah dapat disebut bohong atau tidak, namun, sudah satu tahun berlalu—tak ada surat yang mampir ke kerajaan atas nama Jaken ataupun Der-Veken.
“Kemana kiranya pujaan hatiku pergi.” Tanya Mahesa nelangsa dipinggir jendela. Mata bulat legam itu menatap anak-anak asing yang berbaur dihalaman.
Begitu banyak tawaran pinangan dari negeri maupun kerajaan sebelah, namun semuanya tak pernah dapat menggantikan sosok Jaken dalam relung hati Mahesa.
Tidak akan pernah.
“Sinten ndoro⁴?” tanya Jatayu, abdi dalem Mahesa sekaligus teman sebaya—sebab mereka masih di satu garis umur yang sama. (Siapa tuan?)
“Jaken Widjojodiningrat, haha. Aku sangat rindu.”
Jatayu tampak berpikir beberapa saat, “Jac—jacqueline D—der-veken yo, ndoro?”
Mahesa terkejut. “Ojo kondho—” (jangan bilang—”
“Iyo, ngapunten ndoro …” Jatayu bersimpuh, ia terisak dibawah kaki tuannya. Dan Mahesa tau—Jaken bukan tak ingin membalas suratnya, tapi memang tidak bisa. (Iya, maaf tuan …)
“Kenapa? Kenapa kamu melakukan itu? Gimana dia bisa ketemu kamu?!” Mahesa berseru marah, ia menunjuk-nunjuk wajah pemuda itu.
Jatayu ini dulunya memang merupakan seorang algojo di kerajaan. Ia mengabdi sejak kecil bersama kedua orangtuanya dan ia sangat amat patuh oleh raja yang tak lain adalah Ayah Mahesa.
“Kau apakan dia Jatayu!”
Pemuda itu masih terisak menyedihkan diatas lantai kayu kamar Si Pangeran. “P — penggal, Ndoro. Atas perintah Raja.”
“Beraninya kamu! Maka sekarang penggal aku. Bunuh aku Jatayu! Aku tidak butuh orang sepertimu disini, aku hanya butuh Jaken!!”
Air mata Mahesa luruh. Lantas tuk apa ia menunggu sekian tahun bila Jaken rupanya telah bersatu dengan tanah atas kekejaman dari Romo-nya.
“Aku bersumpah didepan mata jagal kekasih hatiku sendiri bahwasanya aku tidak akan menikah dengan siapapun itu. Tidak akan. Hingga akhir hayatku.”
“Ampun tuanku, kula nyuwun ngapunten …” (aku minta maaf …)
Mahesa terduduk pasrah diatas lantai kayu jati kamarnya, tak mampu menyahuti permohonan maaf Jatayu — mengetahui fakta bahwasanya, keluarga inilah yang memisahkan dan merenggut paksa sang pujaan hati dari rengkuhnya.
“Lantas mengapa aku harus menunggu selama ini, Jatayu?” Tanyanya lirih.
Ia melanjutkan, “bila ternyata poros kehidupanku itu telah tiada sejak lama?”
“Ampun Raden, nyuwun pangapunten ...”
Mahesa tak dapat lagi mempercayai siapapun.
Bertahun-tahun setelah kepergian Jaken, Mahesa masih memimpin negeri tanpa hasrat menikah. Seperti sumpahnya didepan Jatayu kala itu — ia benar-benar menepatinya.
Begitu banyak wanita berlomba meraih hatinya, namun, pemenangnya tetap seorang anak belanda bernama Jacqueline. Mahesa tak dapat membohongi dirinya, hanya Jaken yang ia inginkan.
“Raden, menikahlah sebelum Romo lengser.” Setiap malam, ibu suri akan datang ke kamar Mahesa. Agendanya tetap sama, yaitu untuk membujuk pangeran itu supaya batinnya goyah.
Seratus kali ibu suri meminta, seribu jawaban kan dilontarkan Mahesa tuk menolak.
“Ndak minat.”
“Romo ndak minta cucu kalau kamu keberatan, yang penting menikahlah dahulu.” Lagi, ibu suri masih mencoba.
Mahesa menghela nafas lelah, ia menoleh pada wanita paruh baya berkebaya putih itu, “baik, saya akan menikah. Tapi nanti, bila saya pulang dengan selamat dari peperangan di Anyer.”
Sayang, janji tinggallah janji. Perang Gerilya pimpinan kolonel sugi, harus berakhir menewaskan Mahesa dengan luka bombardir peluru diperutnya.
Sampai akhir hayat pun, Mahesa masih mengukir nama Jaken dalam relung terdalam hatinya. Selalu, dan hanya Jacqueline Der-Veken.
¹KNIL = Koninklijk Nederlands-Indische Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda.)
²Londo = Bahasa Jawa "Walondo" untuk menyebut Belanda
³Ndak = Tidak
⁴Ndoro = Tuan