06. Pukul Dua

noa.
2 min readNov 2, 2023

Ni-ki baru saja melangkah setelah menutup pintu rumah ketika menemukan sang papa tengah menatapnya dengan tajam di sofa ruang tamu.

“Darimana?” tanya Jake, nadanya ketus bahkan cenderung tak suka melihat sang anak tunggal baru pulang pukul dua dini hari.

“Ga jawab?”

“Kamu papa biarin kenapa—”

“Bukannya ni-ki udah pernah bilang? Jawab atau enggak itu hak ni-ki.” pemuda itu mengangkat kepala — melempar tatapan tajam yang sebelumnya tak pernah ia tampilkan pada siapapun termasuk sang papa.

Sesungguhnya, Ni-ki terluka.

“Ngelawan ya kamu?!”

Jake berdiri lantas menunjuk anak semata wayangnya itu — emosinya telah berada diujung tanduk. “Kamu papa biayain sampai sebesar ini, gini kelakuan kamu ke papa? Papa capek kerja dari pagi ketemu pagi tapi apa yang papa dapetin? Anak sendiri ngelawan kaya gini, pasti gara-gara kamu bergaul terus sama Ricky—”

“Ni-ki ga akan ngelawan kalau papa mau jujur. Papa privasi ni-ki dari postingan twitter sama bu wina tapi temen-temen ni-ki nggak, mereka semua tau.”

Pemuda berusia delapan belas tahun itu memberi jeda, “Semenjak papa sama Bu Wina deket, Bu wina selalu nanya kabar papa pas ketemu ni-ki. Ni-ki malu. Ni-ki keberatan punya calon mama baru — luka lama dari bunda belum sembuh.”

GREP!

“Maafin papa.”

Rasa pelukan dari papa masih sama hangatnya. Ni-ki selalu menyukai bagaimana sang papa memberinya ruang lingkup untuk dirinya sendiri.

“Maafin papa belum bisa jadi papa yang baik buat Ni-ki.”

Kini, Jake tau ketakutan Ni-ki. Jake paham dengan batas-batas tak kasat mata yang mereka punya — dan Jake tak akan pernah melangkah lebih jauh tuk melewati batas tersebut.

Jake hanya ingin Ni-ki bahagia.

Berdua memang sepi. Tetapi, meski hanya ada mereka berdua, Jake berjanji pada Ni-ki dan dirinya sendiri bahwa mereka juga dapat bahagia — dengan cara mereka sendiri.

--

--

No responses yet